18 April 2008

Keterikatan

“He who has no attachment directed toward anything, or upon attaining anything good or bad, who neither greets it nor hates it, his wisdom is established.” (Bhagawadgita)

Kutipan dari Bhagawadgita ini, udah cukup lama aku simpan dalam fileku. Aku baca berulang-ulang. Setiap kali membacanya, setiap kali pula hatiku tersentuh. Terasa aku masih jauh dari sebaris kalimat itu.
"Attachment", "keterikatan"...ya..aku masih terikat pada banyak hal. Seumpama ada tali yang membelit tubuhku, maka ada ribuan tali yang mengikatku. Aku masih terikat pada materi, manusia, benda-benda, bahkan, aku begitu terikat dengan makanan yang kumakan.
Bhagawadigta mengajarkan, semakin tinggi kesadaran diri kita, semakin sederhanalah keinginan itu. Keterikatan itu pun semakin akan terlepas.
Tapi sepertinya, hal itu masih jauh dari jangkauanku ya. Kadang aku berkomitmen, kadang aku melanggarnya sendiri. Kadang aku naik lagi ke tahapan kesadaran diri, tapi kemudian jatuh terguling lagi ke titik nadir, karena aku tidak tahan godaan. Selalu saja ketika ujian untuk "naik tingkat" udah akan kulampaui, ada saja godaan. Ada saja kenyataan menggiurkan di depan mata, membuat diriku tidak tahan. Lalu aku tergelincir dan tergelincir lagi.
Kusadari, aku cuma manusia biasa saja. Aku cuma binatang biasa. Penuh kelemahan. Penuh kekurangsempurnaan.Masih jauh dari titik "ketidakterikatan" itu. Akankah aku bisa mencapainya suatu saat nanti?

16 April 2008

Perempuan Bali Setelah Menikah

Menurutku, perempuan di Bali itu masih belum memiliki dirinya seutuhnya.Terutama sekali setelah pernikahan. Kewajiban-kewajiban serta beban rumah tangga menjadikan perempuan Bali dikepung oleh hal-hal yang berada diluar dirinya sebagai individu. Sehingga, jarang perempuan Bali bisa memperhatikan dirinya sendiri.
Memang, ada segelintir perempuan Bali modern yang bisa mengekspresikan dirinya, baik itu dalam pergaulan maupun karir, tapi tetap saja secara umum, perempuan Bali itu lebih banyak menjadi milik publik (keluarganya) daripada dirinya sendiri.
Kepemilikan publik, maksudnya seperti ini : kepemilikan yang lebih banyak berorientasi kepada orang-orang diluar individu perempuan itu sendiri. Perempuan Bali sebagai insan, lebih dinomorduakan. Dalam ruang publik (masyarakat), perempuan Bali mengikuti aturan-aturan yang telah dibuat oleh kaum lelaki. Termasuk menjaga imej perempuan berdasarkan gambaran sosial, yang notabene didominasi oleh kaum laki-laki.
Perempuan Bali dan mungkin juga berjuta perempuan lainnya di Indonesia, mesti merelakan dirinya sebagai individu untuk mengabdi kepada keluarganya, sebagai penghayatan dari peran alamiahnya yaitu : mengandung dan membesarkan anak. Keberadaannya sebagai insani, hanya baru bisa dinikmati ketika mereka berhadapan dengan Sang Pencipta, yaitu ketika berada dalam hening doa.
Seiring dengan kemajuan pendidikan kaum perempuan, semoga paradigma ini kedepannya bisa diubah oleh kaum perempuan sendiri. Sehingga kesejajaran penghayatan perempuan sebagai insan bisa diterapkan juga di dalam ruang publik.

08 April 2008

Ketupat Belayag

Kalau ke Singaraja, cobalah ketupat belayag. Belayag adalah sejenis ketupat tapi berbentuk seperti kue lepat. Asyiknya, belayag itu dimakan pakai ayam suwir, kacang mentik goreng, plus bumbu khusus yang terbuat dari campuran kaldu ayam, bumbu genep, parutan kelapa dan sedikit pengental dari beras yang ditumbuk. Kalo ditambah ama keripik ceker ayam, wuahhhh…tambah lezaat.
Di Singaraja ketupat belayag menjadi penganan sarapan. Tempat pedagangnya antara lain di Balai Banjar Peguyangan, pasar Banyuasri dan pasar Anyar.
Kalau Singaraja terlalu jauh, di Denpasar ada yang menjualnya. Meski berlabel Ketupat Belayag, tapi yang dipakai ketupat biasa. Tentu saja rasanya gak beda-beda amat sama ketupat belayag. Carilah di Jalan Satelit, dekat Jalan Pulau Kawe. Yang pasti, rasanya rame!